Kamis, 27 November 2008

sumpah, (bukan) Pemuda !


Jangan salahkan pemuda dong, jika dalam hati kami tidak muncul semangat nasionalisme tindakan. Sementara kami terus-menerus diteriaki, dimaki-maki dan dicaci di mana-mana. Bukannya kami diberi contoh yang baik-baik dan diajari bagaimana nilai-nilai nasionalisme itu bisa bergetar di hati kami.

Kami para pemuda bukannya tidak tahu akan adanya sumpah pemuda yang dulu diteriakkan oleh para patriotisme jadul. Kami pun tahu itu, bahkan kami hafal 100% kalimat-demi-kalimatnya.
PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.
KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia.
KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Setiap hari ini (28 Oktober) setiap tahun kami hafal bahwa ini hari peringatan para pemuda. Bahwa zaman dahulu (28 Oktober 1928) ada banyak pemuda yang berkorban demi membela kesatuan bangsa dan negara. Patriotisme itu benar-benar terpatri dalam dada kami. Jangan ragukan itu!

Tapi entah kenapa, semua itu menjadi monumental saja. Pahatan dan sayatan peristiwa demi peristiwa kepatriotismean zaman dahulu itu hanya terekam lengkap dalam museum, baliho, diorama dan di berbagai media perekaman. Kami tinggal melihat, membaca dan mendengar semua peristiwa itu. Bahkan jika kami menulis ini, dan ikut upacara kesetiaan, kami dianggap sudah menjadi pemuda yang memiliki nasionalisme dan patriotisme?

Patriotisme belaka benar-benar sudah mematri dalam hati kami. Jangan ragukan itu. Buktinya kami menuntut para tetua, yang kini tengah menikmati hasil perjuangan pemuda zaman dulu. Namun kami tidak diberi contoh bagaimana dengan patriotisme tindakan, nasionalisme yang bisa mewujud dalam setiap aksi sosial kebangsaan.

Contoh-contoh baik sebagai bukti patriotisme tindakan dari para orang tua benar-benar tenggelam di dalam hiruk-pikuk kepentingan: Politik, ideologi, egoisme paham, egoisme partai, dan egoisme madzhab. Belum lagi virus “fatamorgana” dalam bentuk entertainment benar-benar merenggut jiwa muda kami.

Kami bertanya, siapa pemberi fasilitas itu, kami hanya menikmati karena diberi; Siapa yang mengajari kami untuk berhura-hura, korupsi, dan bergaul bebas? kami diberi fasilitas, dan didorong terus untuk melakukan itu dari berbagai tayangan, contoh-contoh di media dan kehebatan bersilat lidah dari para tetua.

Jadi jangan salahkan kami, jika kami tidak menemukan contoh patriotisme tindakan, jika para tetua uncang-uncang kaki dan bersenda gurau dengan seusianya. Sementara teman-teman kami yang telah mengharumkan nama Indonesia tercinta baik di kancah tulisan, iptek maupun olahraga dan bidang lainnya. Tapi tetap saja kami tidak diakui sebagai pemuda harapan bangsa. Apa sih maunya para tetua????

Lalu apa makna sumpah pemuda yang didengungkan itu? diam-diam kami mengendus suara dari hati para tetua kami bahwa kami ini tidak diakui sebagai komponen penentu bangsa Indonesia alias bukan “pemuda” tapi si bocah yang layak dininabobokan, tak perlu tahu, belum tua belum boleh bicara, seolah kami dianggap menjadi komponen bangsa yang dihapus dalam memori mereka. Jika para tetua berbuat salah, masih bisa “nyengir²”. Sementara kami terus-menerus dicaci dan dicemooh giliran kami berbuat salah: sumpah kamu bukan pemuda Indonesia!

Aaarrghh…. !!!